Showing posts with label civilizations. Show all posts
Showing posts with label civilizations. Show all posts

Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri



Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri

1. Dia Pergi dengan bersahaja. Meninggalkan berkah & penampunan. Meninngalkan jejak pahala. Membawa mimpi surga ! SELAMAT IDUL FITRI, mohon maaf lahir & batin

2. Satu yang pasti dalam hidup: kita akan kembali kepada-Nya. Mumpung masih hidup Ayo sirahturahmi di hari yang fitri. SELAMAT IDUL FITRI, mohon maaf lahir & batin.

3. Masa aktif Hidup anda hampir berakhir, saldo dosa anda makin meningkat, di hari yang fitri ini raih kesempatan untuk meningkatkan saldo Iman. Isi ulang dengan sirahturahmi. SELAMAT IDUL FITRI, mohon maaf lahir & batin

4. Terselip khilaf dalam candaku. Tergores luka dalam tawaku, terbelit pilu dalam tingkahku, tersinggung rasa dalam bicaraku. Hari kemenangan telah tiba, moga segala dosa & kesalahan kita terampuni. Mari bersama kita bersihkan dihari yang fitri. SELAMAT IDUL FITRI, mohon maaf lahir & batin

5. Allahu Akbar Allahu Akbar
Takbir mulai bergema, menyeruak ke angkasa menembus gelapnya malamSeiring hati bahagia, kembali pada fitrahSelamat idul fitri 1431 H, mohon maaf lahir dan batin

6. Takbir, tahmid, tahlil tlah berkumandang. Memecah keheningan malam, mengantar rasa syukur padaNya. Esok pagi menyambut hari yang fitri, selamat hari lebaran 1431 H taqaballahu mina wa minkum, mohon maaf lahir dan batin

7. Kegembiraan tlah bergema memecah keheningan. Kalimat-kalimat suci pertanda bahagia, umat islam menyambut kemenangan. Melukar belenggu dosa, melepas ikatan dengki, menebar cinta serta maaf dan memaafkan. Selamat idul fitri 1431 H, taqaballahu mina wa minkum

8. Tiada gembira yang menggelora, tiada senang yang mengangkasa, selain kita telah kembali pada fitrah dan ampunanNya. Taqaballahu mina wa minkum, selamat idul fitri 1431 H, minal aidzin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin

Silahkan kalau ada yang mau menambahkan!!!!

Posted on 01:55 by ariwinata and filed under | 0 Comments »

Islam on Indonesia

Peta Pergerakan Islam di Indonesia Abad 21
ditulis oleh Bang One

Dalam usaha menemukan jati dirinya, ditubuh umat islam di indonesia telah tumbuh dan berkembang beragam pergerakan islam sebagai usaha melakukan perubahan dan menentukan masa depannya. Perbedaan organisasi ataupun pergerakan islam berubah dari sekedar perbedaan madzab ataupun furu’iyah dalam ibadah menjadi perbedaan pada metode ataupun orientasinya. Dengan menelaah ulang konteks kesejarahan pergerakan islam Indonesia pada awal abad 20, dapat dikatagorikan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok skeptif dan progresif.

Dari kacamata penulis kelompok skeptif adalah kelompok yang enggan melakukan perubahan sosial dan keagamaan, tidak melakukan transformatif ataupun ijtihad, dan memegang kuat tradisi budaya yang dalam hal ini bisa dinisbatkan pada Organisasi Islam yang mencerminkan akar rumput tradisi masyarakat Indonesia yaitu Nahdhlatul Ulama. Sedangkan disisi yang lain kelompok progresif diwakili kelompok yang menghendaki perubahan dalam tataran sosial, politik, pendidikan ataupun ijtihad keagamaan yang hal ini bisa diwakili Muhammadiyah, Persis, Syarikat Islam dan Al Irsyad. Walaupun terdiri atas beragam organisasi namun bisa dikatakan secara garis besar platform maupun ketokohan keempat organisasi tersebut masih saling beririsan secara signifikan.

Namun dipenghujung abad 20 dan memasuki abad 21, pengaruh globalisasi juga memberikan warna tersendiri pada dinamika organisasi dan pergerakan islam di Indonesia. Organisasi islam yang telah mapan secara kultural, struktural maupun institusional yaitu Nahdhlatul Ulama dan Muhammadiyah harus siap bersaing dengan dinamika pergerakan islam yang semakin berkembang dengan tumbuhnya pergerakan islam yang mengadopsi atapun menyatakan sebagai bagian ataupun cabang dari organisasi islam dari luar Indonesia. Diantaranya Hizbut Tahrir, Salafiyah, Jamaah Tabligh, Tarbiyah, ataupun gerakan bawah tanah Jamaah Jihad walaupun kurang menunjukkan eksistensinya dipermukaan.

Interaksi umat islam Indonesia dengan wacana keagamaan dan dinamikanya tidak mungkin dipisahkan dengan dinamika di luar negeri khususnya Timur Tengah. Karena bagaimanapun organisasi islam yang telah mapan seperti Nahdhlatul Ulama maupun Muhammadiyah pun terinspirasi dan bisa dikatakan mengadopsi perkembangan wacana keagamaan yang berkembang disana. Dalam tubuh Nahdhlatul Ulama sendiri pengaruh gerakan-gerakan Tarekat yang mengadopsi dari luar negeriseperti Naqsabandiyah dan Tijaniyah yang berpusat dan berkembang di Syiriah dan Mesir cukup signifikan, begitu pula pergerakan islam Al-Haramain dengan tokohnya Syaikh Muhammad Maliki yang berkembang di Nejd menjadi rujukan utama para ulama di Nahdhliyin. Sedangkan Muhammadiyah pada awal-awal berdirinya tidak terlepas mengadopsi ide-ide pembaharuan islam moderat yang dipelopori Syaikh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Abdul Wahab, hingga Jamaludin Al-Afghani ataupun Muhammad Iqbal. Dan dari perkembangannya Muhammadiyah sendiri sebenarnya telah cukup berkembang dan berpengaruh di negara-negara Jiran seperti Malaysia dan Singapura.

Karena itu terlalu dipaksakan apabila terkesan adanya pemisahan antara pergerakan islam Nasional dan Transnasional, dengan memaksakan pandangan yang berhak hidup dan berkembang di Indonesia dan dapat diterimat umat islam Indonesia adalah Ormas islam Asli Indonesia, sedangkan yang lainnya yang berbau TransNasional tidak layak untuk mengembangkan keorganisasian ataupun pengaruhnya di Indonesia. Apalagi Negara ini memberikan sepenuhnya hak kemerdekaan dalam berorganisasi dan menyampaikan pendapat bagi siapapun dan kelompok manapun selama masih dalam batas-batas mengakui Negara Kesatuan Indonesia dan tidak melakukan tindakan-tindakan destruktif yang merusak kepentingan nasional serta kehidupan masyarakatnya.

Selanjutnya bagaimana perkembangan Ormas-ormas ataupun pergerakan islam di Indonesia saat ini. Dalam kacamata penulis, untuk mengklasifikasikan peta pergerakan islam tidak ada salahnya mengadopsi pemetaan dinamika pergerakan islam berdasarkan model teori-teori perubahan sosial yang bersifat kemasyrakatan atau dalam paradigma sosiologi. Teori paradigma perubahan sosial dicetuskan pertama kali oleh seorang sosiolog pendidikan Brasil Paulo Freire pada era 70-an, yang kemudian berkembang dalam tataran peta paradigma sosiologi ideologis yang dikembangkan Burnell Morgan diera 80-an. Dari para analis sosiologi ini madzab perubahan sosial akan memetakan bagaimana karakter secara ideologis, metode serta sasaran yang hendak diwujudkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang menghendaki perubahan sosial, yang kemudian bisa dibagi kedalam 3 madzab.

Madzab pertama adalah perubahan pasif dan dominatif. Kerangka pola fikir dalam golongan ini adalah lebih dekat dengan pola gerakan salafiyah dalam pergerakan islam. Sedangkan dalam tataran metode kesadaran sosial disebut dengan kesadaran magis. Penganut madzab ini lebih dekat dengan kelompok islam yang hanya menyandarkan orientasi gerak dibidang ubudiyah dan ansih dengan dinamika politik dan sosial. Dalam pandangan ini perubahan sosial tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya untuk melakukan perubahan sosial secara humanis maupun struktural untuk mewujudkan perubahan tatanan sosial secara global.

Organisasi islam akar rumput seperti Nahdhlatul Ulama dan kalangan tradisional serta derivatnya cukup dominan mewakili madzab ini. Karena kerangka orientasi model organisasi seperti ini adalah lebih pada upaya mempertahankan dominasi kultur dan tradisi yang telah mapan dan dianut masyarakat Indonesia, begitu pula dalam keagamaan. Sedangkan pengembangan lembaga politik, sosial ataupun pendidikan dalam naungan Ormas ini lebih pada figuritas dan kepunyaan pribadi ketimbang kekuatan usaha Ormasnya. Sedangkan perubahan sosial yang dikehendaki masih belum kelihatan, baik secara falsafah maupun konsepnya sehingga perubahan sosial dalam pandangan ini mengikuti perubahan yang terjadi berdasarkan faktor-faktor eksternal, natural ataupun magical.

Madzab ini juga sangat dominan dianut oleh kelompok Salafiyah atau Wahabiyah yang mengadopsi madzab keagamaan dari Arab Saudi, karena pola kemasyarakatan yang pasif dan masih didominasi Kerajaan dalam politik, sehingga tidak menuntut adanya dinamika sosial politik. Selain itu Jamaah Tabligh yang begitu tradisional dalam penerapan faham keagamaan juga secara dominan mengikuti cara pandang ini.

Madzab kedua adalah perubahan Reformatif. Dalam pandangan yang kedua ini perubahan sosial lebih dititik beratkan pada perubahan humanis, yaitu untuk membangun kesadaran individu dalam aspek manusiawi sebagai akar dari perubahan sosial yang hendak diwujudkan, sehingga juga disebut dengan perubahan sosial dengan kesadaran naif. Man power development menjadi sesuatu yang diharapkan untuk mewujudkan perubahan. Sedangkan secara struktural, mereka akan mengikuti pola dan struktur yang sudah ada dan dianggap sebagai sesuatu yang sudah baik, mapan dan benar dan akan berubah sesuai dengan karakter perubahan manusianya. Sehingga pandangan ini akan mengusahakan perubahan sosial secara reformatif.

Dalam pandangan madzab ini model pergerakan islam modern seperti Muhammadiyah dan derivatnya cukup mewakili. Dengan program pendidikan dan amal islam yang terkelolah dengan baik dan dikembangkan secara progressif, organisasi ini berusaha untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam usahanya merealisasikan perubahan kehidupan sosial, ekomnomi, pendidikan, politik yang lebih baik. Ini dibuktikan dengan kontribusi besar para tokohnya dalam usahanya ikut serta menentukan pondasi negara ini walaupun dalam tataran nasionalisme. Sebut saja Ki Bagus Hadi Kusumo dan Kasman Singodimejo merupakan perwakilan dari kelompok islam modern, yang menjadi founding father Indonesia, ataupun Panglima besar Jenderal Soedirman yang menjadi pelopor pendirian dan pemimpin TNI, serta tokoh-tokohnya yang berhasil melakukan reformasi bidang pendidikan di negara ini.

Adapun pergerakan islam lain yang juga condong menggunakan pendekatan paradigma perubahan perubahan sosial model ini adalah pergerakan islam Tarbiyah. Gerakan ini memiliki orientasi utama untuk membangun konsep dan struktur berdasarkan islam dalam semua bidang dengan jargonnya AlIslam huwal Hal dan dengan cakupan global, yang mereka sebut dengan Ustadziatul ‘Alam. Namun dalam tataran geraknya mereka menggunakan tahapan-tahapan perubahan yang disebut dengan Mihwar. Sehingga gerakan ini cenderung untuk melakukan perubahan secara humanis dan reformatif islam.

Pergerakan islam ini cukup menarik untuk dicermati karena pengaruhnya yang berkembang secara signifikan. Dalam tatanan reformasi politik pergerakan ini membangun sayap politiknya melalui Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera, yang sekarang memiliki kemampuan politik yang cukup signifikan sebagai kekuatan partai islam terbesar. Begitu pula dalam pengembangan amal islam keagamaan, pendidikan, kesehatan dan bidang sosial lainnya dengan pendirian Pesantren, Sekolah Islam, Lembaga Sosial dan Zakat serta berbagai misi sosial dan kesehatan ataupun budaya yang cukup mewarnai. Dalam pembangunan SDM, pergerakan islam ini juga cukup dominan memberikan warna keislaman di lembaga-lembaga pusat pendidikan tinggi serta lembaga riset IPTEK nasional.

Sedangkan Madzab ketiga adalah perubahan transformatif. Dalam pandangan ini perubahan sosial dibangun dengan kesadaran kritis revolusioner. Dalam paradigma kesadaran kritis, inti permasalahan dan perubahan sosial adalah pada struktural dalam sistem tatanan sosial, politik, ekonomi, budaya dan bidang lainnya. Sehingga perubahan sosial dapat diwujudkan melalui dialektika thesa dan antithesa untuk membangun struktur yang secara fundamen baru dan terlepas dari struktur yang ada yang dianggap rusak dan penyebab ketidakadilan.

Untuk saat ini meskipun masih belum signifikan pengaruhnya tetapi pergerakan islam revolusioner seperti Jamaah Jihad yang dalam hal ini bisa terwakili oleh Majelis Mujahidin dan Ansharuttauhid bisa mewakili cara pandang perubahan sosial dalam paradigma ini. Jika kita tengok dalam sejarah panjang pergerakan islam nasional, pergerakan islam dengan model ini sebenarnya memiliki akar sejarah yang cukup signifikan di Indonesia. Dengan latar belakang Gerakan Darul Islam DI/TII yang didirikan KartoSuwiryo pada tahun 1947, yang mampu memberikan perlawanan dengan pemberontakan yang terbesar dan terlama dalam masa-masa revolusi. Selain di sebagian Jawa Tengah dan Jawa Barat, gerakan ini juga berkembang derivatnya dengan NII yang berkembang di Aceh, Sulawesi Selatan dan Tenggara serta Kalimantan Selatan, sehingga pemberontakan untuk mendirikan Negara Islam untuk melawan pemerintahan RI dan menggantikan bentuk Negara nasionalis NKRI ini mampu bertahan tidak kurang dari 15 tahun.

Dalam bentuk perlawanan yang lebih dapat dipandang vandalisme saat ini, sisa-sisa NII yang mengatas namakan JI ataupun Al-Qaedah Indonesia, dengan pengaruh organisasi Jihad luar negeri mereka seolah-olah mendapatkan ruh baru. Dengan mengadopsi pemikiran fundamentalisme ideologis Jamaah Islamiyah yang berkembang di Mesir yang kemudian melakukan tranformasi kedalam jaringan Al-Qaedah, sempalan pergerakan organisasi jihad internasional ini ingin menunjukkan eksistensinya dengan berbagai serangan teror terhadap kepentingan-kepentingan asing di negeri ini. Selain itu dalam pandangan mereka pemerintahan yang tidak berdasarkan ideologis dan hukum islam adalah wajib dihancurkan dan diperangi.

Selain model revolusi dengan kekerasan, pergerakan islam lain yang tidak menggunakan jalur kekerasan fisik tetapi dengan revolusi pemikiran yang bisa dikatagorikan menganut paradigma perubahan transformatif revolusioner ini adalah Hizbut Tahrir. Sebagai pergerakan islam yang mengklaim sebagai partai politik internasional yang berpusat di Yordania dan diisukan hijrah ke Inggris sebagai markas pusatnya ini menunjukkan geliatnya di negara-negara demokratis Eropa, sebagian Asia Tengah serta Indonesia. Wacana dan doktrin revolusi pemikiran pergerakan islam ini dibangun dengan diskusi-diskusi, buku, booklet, ataupun selebaran-selebaran dialogis untuk memberikan pengaruh dan menanamkan keyakinannya kepada umat islam untuk mengikuti pola pikir yang mereka anut, terutama dari golongan terdidik.

Metode revolusioner dalam mewujudkan perubahan sosial yang ditempuh Hizbut Tahrir dapat dikatagorikan dalam dua jalan utama. Jalan pertama untuk melakukan revolusi struktural adalah dengan merebut kepemimpinan yang mereka sebut dengan Thulabun Nusroh, atau pencarian perlindungan. Dengan jalan lobi-lobi dan diskusi politik dengan pemimpin-pemimpin negara, masyarakat ataupun keagamaan mereka berusaha memberikan pengaruh pemikiran, sehingga diantara para pemimpin itu bersedia untuk menempuh jalan dan cara pandang mereka untuk bersama-sama mereka mewujudkan terbentuknya daulah islam Khilafah Islamiyah dan tegaknya syariat islam. Sedangkan jalan yang kedua adalah dengan Ash-Shira’ ul-Fikra untuk melakukan revolusi sosial, yaitu dengan memberikan pengaruh pemikiran secara luas kepada masyarakat bawah dengan cara menghancurkan wibawa pemerintahan, dan mempertontonkan kekurangan, kegagalan ataupun kebobrokan-kebobrokan kepemimpinan negara serta menganggap seluruh pemerintahan negeri-negeri islam saat ini adalah Darul Kufr alias dianggap Negara kafir. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat pada pemimpin-pemimpin pemerintahan terutama negeri-negeri islam, sehingga pada akhirnya akan mampu menggerakkan masyarakat untuk bersedia bergerak bersama HT melakukan revolusi terhadap rezim yang berkuasa.

Dari ketiga klasifikasi madzab perubahan sosial ini tidak berdasarkan nilai-nilai dogmatis keagamaan bahwasanya madzab yang yang satu lebih benar ketimbang madzab lainnya, namun lebih berdasarkan metode dan mekanisme transfer nilai yang ditawarkan dan dikembangkan masing-masing madzab. Madzab-madzab ini akan menentukan bagaimana platform pergerakan islam, kepemimpinan, serta pola fikir yang dianut pengikutnya yang menjadi nilai idealisme yang diperjuangkan untuk melakukan perubahan sosial.

Demikian mungkin sedikit gambaran peta pergerakan islam di Indonesia yang ada dari sudut pandang kacamata penulis, yang pasti silahkan pilih gerbong yang sesuai dengan hati nurani, fastabiqul khairat dan marilah berusaha introspeksi untuk senantiasa melakukan perbaikan dalam diri kita pribadi, dan menjauhkan diri dari keyakinan dan pemikiran destruktif yang justru menjauhkan islam menuju kebangkitannya, dan menghilangkan jati dirinya sebagai Rahmatan lil ‘alamin. Adapun jika ada kesalahan yang tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan yang dianut masing-masing pergerakan islam yang ada, penulis minta maaf dan siap untuk mengkoreksi dan merevisi tulisan singkat ini.
Posted on 04:25 by ariwinata and filed under | 0 Comments »

PERKEMBANGAN PENULISAN SEJARAH INDONESIA

PERKEMBANGAN PENULISAN SEJARAH INDONESIA
Penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia umumnya digolongkan kedalam tiga tahapan perkembangan yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern Indonesia. Dan setiap historiografi tersebut masing-masing memililiki ciri-ciri yang berbeda dan jenis yang dihasilkanpun berbeda.

Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 17 M.
Hasil tulisan sejarah dari masa ini sering disebut sebagai naskah.
Contoh Historiografi tradisional:
Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Diponegoro, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Silsilah Raja Perak, Hikayat Tanah Hitu, Kronik Banjarmasin, dsb.

Adapun ciri-ciri historiografi tradisional yaitu:
· Penulisannya bersifat istana sentris yaitu berpusat pada keinginan dan kepentingan raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa. Menyangkut raja dan kehidupan istana.
· Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan permintaan sang raja.
· Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali anakronitis (tidak cocok)
· Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
· Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).
· Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
· Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
· Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja.

Banyak sejarawan yang awalnya sampai tahun 1960-an tidak mau menggunakan naskah-naskah tersebut sebagai sumber atau referensi karya ilmiah. Akan tetapi, pada perkembangannya karena melalui berbagai penelitian membuktikan bahwa bayak hal yang ditulis dalam naskah tradisional tersebut dapat terungkap pula dalam sumber-sumber sejarah yang lain maka mereka mulai menganggap bahwa naskah/ historiografi tradisional tersebut dapat pula dijadikan sumber atau acuan sejarah.


Historiografi Kolonial
Ada pada abad 17-abad 20 M.
Historiografi kolonial merupakan historiografi warisan kolonial dan penulisannya digunakan untuk kepentingan penjajah.
Ciri-cirinya:
ü Tujuannya untuk memperkuat kekuasaan mereka di Indonesia. Jadi disusun untuk membenarkan penguasaan bangsa mereka terhadap bangsa pribumi (Indonesia). Sehingga untuk kepentingan tersebut mereka melupakan pertimbangan ilmiah.
ü Selain itu semuanya didominasi untuk tindakan dan politik kolonial.
ü Historiografi kolonial hanya mengungkapkan mengenai orang-orang Belanda dan peristiwa di negeri Belanda serta mengagung-agungkan peran orang Belanda sedangkan orang-orang Indonesia hanya dijadikan sebagai objek.
ü Historiografi kolonial memandang peristiwa menggunakan sudut pandang kolonial. Sifat historiografi kolonial eropasentris.
ü Ditujukan untuk melemahkan semanangat para pejuang atau rakyat Indonesia.

Seperti contohya: Orang Belanda menyebut ”pemberontakan” bagi setiap perlawanan yang dilakukan oleh daerah untuk melawan kekuasaan Belanda/ kekuasaan asing yang menduduki tanah airnya. Oleh Belanda itu dianggap sebagai ”perlawanan terhadap kekuasaannya yang sah sebagai pemilik Indonesia”. Seperti Perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro, Belanda menganggap itu sebagai ”Pemberontakan Diponegoro”.

Telah ada upaya untuk melakukan kritik terhadap beberapa tulisan orang Belanda seperti tulisan Geschiedenis van Nederlandsche-Indie (Sejarah Hindia Belanda) oleh Stapel yang dikritik J.C van Leur. Salah satu ungkapannya”jangan melihat kehidupan masyarakat hanya dari atas geladak kapal saja”, artinya jangan menuliskan masyarakat Hindia hanya dari sudut penguasa saja dengan mengabaikan sumber-sumber pribumi sehingga peranan pribumi tidak nampak sementara yang ada hanyalah aktivitas bangsa Belanda di Hindia.
Tetapi justru pendapat Stapel yang tenar di kalangan masyarakat Indonesia, salah satu pendapatnya yang masih dipercaya dan melekat dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia adalah bahwa bangsa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun (1595-1545). Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia dijajah sejak tahun 1595 sewaktu Cornelis de Houtman berangkat dari negeri Belanda untuk mencari pulau penghasil rempah-rempah di dunia Timur. Dia sampai di Indonesia tahun 1596. Indonesia masih mengalami kekuasaan VOC (1602-1619), Inggris (1811-1816), Van den Bosh (1816-1830), Penghapusan Tanam Paksa(1830-1870), Liberalisme (1870-1900), Politik Etis (1900-1922), Sistem Administrasi Belanda (1922-1942), Jepang (1942-1945).


Historiografi Modern Indonesia/ historiografi nasional
Ada pada abad 20 M- sekarang. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia.
Ditandai dengan:
Ø Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ø Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
Ø Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial.
Ø Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama.

Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ”Seminar Nasional Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan sebuah buku sejarah nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku referensi.

Oleh karena itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:
1. Sebuah penulisan yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari eropasentris menjadi indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal baru yang sebelumnya belum sempat terungkap.
2. Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis)
3. Menggunakan pendekatan multidimensional.
Caranya yaitu dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial untuk menjelaskan kejadiaan sejarah sesuai dengan dimensinya dengan menggunakan sumber-sumber yang lebih beragam daripada masa sebelumnya.
4. Mengungkapkan dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.
Sebagai contoh:
Tulisan berjudul ”Pemberontakan Petani di Banten 1888” oleh Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan Indonesia pertama yang menggunakan metode multidimensional dalam penulisannya.

Penulisan sejarah Indonesia modern bertujuan untuk melakukan perbaikan dengan menggantiklan beberapa hal seperti:
· Adanya pandangan religio-magis serta kosmologis seperti tercermin dalam babad atau hikayat diganti dengan pandangan empiris-ilmiah.
· Adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan nationsentris.
· Adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial.
Posted on 08:58 by ariwinata and filed under | 4 Comments »

Prambanan, the Most Beautiful Hindu Temple in the World

The Most Beautiful Hindu Temple in the World


Prambanan temple is extraordinarily beautiful building constructed in the tenth century during the reigns of two kings namely Rakai Pikatan and Rakai Balitung. Soaring up to 47 meters (5 meters higher than Borobudur temple), the foundation of this temple has fulfilled the desire of the founder to show Hindu triumph in Java Island. This temple is located 17 kilometers from the city center, among an area that now functions as beautiful park.

There is a legend that Javanese people always tell about this temple. As the story tells, there was a man named Bandung Bondowoso who loved Roro Jonggrang. To refuse his love, Jonggrang asked Bondowoso to make her a temple with 1,000 statues only in one-night time. The request was nearly fulfilled when Jonggrang asked the villagers to pound rice and to set a fire in order to look like morning had broken. Feeling to be cheated, Bondowoso who only completed 999 statues cursed Jonggrang to be the thousandth statue.

Prambanan temple has three main temples in the primary yard, namely Vishnu, Brahma, and Shiva temples. Those three temples are symbols of Trimurti in Hindu belief. All of them face to the east. Each main temple has accompanying temple facing to the west, namely Nandini for Shiva, Angsa for Brahma, and Garuda for Vishnu. Besides, there are 2 flank temples, 4 kelir temples and 4 corner temples. In the second area, there are 224 temples.

Entering Shiva temple, the highest temple and is located in the middle, you will find four rooms. One main room contains Shiva statue, while the other three rooms contain the statues of Durga (Shiva's wife), Agastya (Shiva's teacher), and Ganesha (Shiva's son). Durga statue is said to be the statue of Roro Jonggrang in the above legend.

In Vishnu temple, to the north of Shiva temple, you will find only one room with Vishnu statue in it. In Brahma temple, to the south of Shiva temple, you find only room as well with Brahma statue in it.

Quite attractive accompanying temple is Garuda temple that is located close to Vishnu temple. This temple keeps a story of half-bird human being named Garuda. Garuda is a mystical bird in Hindu mythology. The figure is of golden body, white face, red wings, with the beak and wings similar to eagle's. It is assumed that the figure is Hindu adaptation of Bennu (means 'rises' or 'shines') that is associated with the god of the Sun or Re in Old Egypt mythology or Phoenix in Old Greek mythology. Garuda succeeded in saving his mother from the curse of Aruna (Garuda's handicapped brother) by stealing Tirta Amerta (the sacred water of the gods).

Its ability to save her mother made many people admire it to the present time and it is used for various purposes. Indonesia uses the bird as the symbol of the country. Other country using the same symbol is Thailand, with the same reason but different form adaptation and appearance. In Thailand, Garuda is known as Krut or Pha Krut.

Prambanan also has panels of relief describing the story of Ramayana. Experts say that the relief is similar to the story of Ramayana that is told orally from generation to generation. Another interesting relief is Kalpataru tree that - in Hindu - the tree is considered tree of life, eternity and environment harmony. In Prambanan, relief of Kalpataru tree is described as flanking a lion. The presence of this tree makes experts consider that Javanese society in the ninth century had wisdom to manage its environment.

Just like Garuda, Kalpataru tree is also used for various purposes. In Indonesia, Kalpataru is used as the logo of Indonesian Environment Institution. Some intellectuals in Bali even develop "Tri Hita Karana" concept for environment conservation by seeing Kalpataru relief in this temple. This tree of life is also seen in the gunungan (the puppet used as an opening of traditional puppet show or wayang kulit). This proves that relief panels in Prambanan have been widely known throughout the world.

If you see the relief in detail, you will see many birds on them; they are real birds as we can see on the earth right now. Relief panels of such birds are so natural that biologists can identify their genus. One of them is the relief of the Yellow-Crest Parrot (Cacatua sulphurea) that cites unanswered question. The reason is that the bird only exists in Masakambing Island, an island in the middle of Java Sea. Then, did the bird exist in Yogyakarta? No body has succeeded in revealing the mystery.

You can discover many more things in Prambanan. You can see relief of Wiracarita Ramayana based on oral tradition. If you feel tired of enjoying the relief, you can take a rest in the beautiful garden in the complex. Since 18 September 2006, you can enter zone 1 area of Prambanan temple. The damage caused by the earthquake on 27 May 2006 is being reconstructed. Please come and enjoy Prambanan temple.

Posted on 01:55 by ariwinata and filed under | 0 Comments »

Beautiful of Borobudur Stupa, Java, Indonesia

Borobudur Stupa, Java, Indonesia

Sometime before the 5th century AD, the influence of Hinduism and Buddhism spread southward from the mainland of southeast Asia to the islands of Sumatra, Java, Bali and a few others in the archipelago currently called Indonesia. (It is misleading to think of all of Indonesia as either an ancient empire or the province of any particular religion. The vast archipelago of over 13,000 islands became the nation of Indonesia only in 1949 and only a few of its major islands were ever settled or much influenced by Hinduism, Buddhism or Islam).

There are no archaeological remains of temples in the Indianized states of Java prior to the end of the seventh century as the early Hindu structures were built of wood and have long since decayed in the moist tropic climate. The first stone temples, Shiva shrines constructed during the eighth century, are found high on the Dieng plateau, the name Dieng meaning 'the place of the gods'. The greatest concentration of Javanese sacred architecture, however, lies on the plain of Kedu, some 42 kilometers north-west of the present city of Yogyakarta. Here stands the beautiful Hindu temple complex of Prambanam and the world famous Hindu/Buddhist temple of Borobudur.

Borobudur, a name deriving from an expression meaning 'Mountain of accumulation of merits of the ten states of Bodhisattva' is commonly thought of as a Buddhist structure, yet its initial construction was planned and conducted by Hindu builders sometime around 775AD. The enormous first and second terraces were completed by a declining Hindu dynasty, construction was then halted for some years, and later, from 790 to 835 AD, the Buddhist Sailendra dynasty continued and finally completed the great stupa. The huge stone mass might have then been permanently abandoned, for it was difficult to adapt to the needs of Buddhism. However, leaving in evidence such an obvious manifestation of Hinduism was probably not deemed politically correct and thus the unfinished Shiva temple was transformed into the world's largest Buddhist stupa.

After 832 AD the Hindu dynasty of Sanjaya began to reunify central Java and soon reappropriated the Buddhist monuments built by the Sailendra. Although the Sanjaya were themselves Hindu, they ruled over a Buddhist majority and thus, while some Hindu modifications and ornamentations were done on Borobudur, the stupa remained a place of Buddhist use. During the 10th and 11th centuries there was a transfer of power from central Java to the east, and the great stupa fell into decline. For centuries the site lay forgotten, buried under layers of volcanic ash and jungle growth. In 1815 Europeans cleared the site, in the early 1900's the Dutch began its restoration, and a US$21 million project begun in 1973 completed the work.

The Borobudur stupa is a massive, symetrical monument, 200 square meters in size, sitting upon a low sculptured hill. The monument represents a Buddhist cosmological model of the universe organized around the axis of mythical Mt. Meru. Starting at the eastern gateway, pilgrims circumambulate the stupa, always in a clockwise direction. Walking through nearly five kilometers of open air corridors while ascending through six square terraces and three circular ones, the pilgrim symbolically spirals upward from the everyday world to the nirvanic state of absolute nothingness. The first six terraces are filled with richly decorated relief panels in which the sculptors have carved a textbook of Buddhist doctrines and a fascinating panorama of 9th century Javanese life. Upon the upper three terraces are 72 small stupas, each containing a statue of the Buddha (these statues are usually headless; relic hunters stole many of the heads, others are in museums). Crowning the entire structure is a great central stupa. Representing Nirvana, it is empty.

Posted on 01:41 by ariwinata and filed under | 0 Comments »

T-Shirt of Melayu (Baju Melayu)


A traditional Baju Melayu worn with songket

Baju Melayu is a traditional Malay outfit for men. It literally translates as 'Malay shirt' and consists of two main parts. The first being the baju (long sleeved shirt) itself which has a raised stiff collar known as the cekak musang collar (literally fox's lease). The second part is the trousers. The two parts are made out of the same type of fabric which is usually silk, cotton, or a mixture of polyester and cotton. A skirt-type adornment is also commonly worn with the Baju Melayu, which is either the "kain samping", made out of songket cloth or the kain sarung, made out of cotton or a polyester mix. Both are loops of fabric which are folded around the wearer's waist. A jet-black or dark coloured headgear called the songkok can also worn to complete the attire.

In shirts made with the cekak musang collar, the placket of the baju will seem to form a third of the baju from the top when it is worn beneath the kain samping or kain sarung. However, the hem line of the baju actually runs to the middle of the lap. The placket typically has three to four buttonholes and is fastened together by dress studs called kancing which are not unlike those used in Western-style formal dress shirts. The studs usually have screw-in backs and can be made from a variety of materials including gold, silver and precious or semi-precious stones. The studs may also be connected with a light metal chain which will be concealed behind the shirt when the placket is fastened.

In the state of Johor, both the design and the wearing of Baju Melayu is somewhat different to that of other areas. Here, the kain samping or kain sarung is worn below the baju rather than above it. The baju itself does not have the cekak musang collar or any placket. Instead, the opening is hemmed with stiff stitching called tulang belut (literally eel's spine) and ends with a small loop at the top of one side to fit a singular kancing (similar to the collars of Baju Kurung worn by women). This style is known as the Teluk Belanga style and is said to be designed by Sultan Abu Bakar himself as a remembrance of the move of Johor's administrative capital from Teluk Belanga in Singapore to Tanjung Puteri in 1866 (today it is known as Johor Bahru).

A black Baju Melayu with a black kain samping embroidered with gold thread is considered a form of formal dress, and is the official attire required during official national events, especially highly formal ones like the official celebration of the Yang di-Pertuan Agong's birthday. Malaysian ambassadors presenting their credentials to foreign heads of state are also required to wear the black Baju Melayu. The white Baju Melayu is worn by Malaysian royalty when mourning the passing away of a member of the royal family.

The Baju Melayu is commonly worn in Malaysia and Singapore by Malay men, although its use in Singapore is usually restricted to Fridays at mosques, and the Eid ul-Fitr (Hari Raya) holiday. Malaysian men usually wear the shirt for general religious occasions, such as visiting the mosque or for a religious gathering. Some companies allow their male workers to wear Baju Melayu on Fridays, whereas others have it as a policy. On the whole Singaporeans frequently refer to it as a Baju Kurung, although this term in Malaysia usually refers only to the corresponding outfit for women.

In Indonesia, both the Baju Melayu in both collar styles (and other Malay clothes such as Baju Kurung) is popular in provinces with large Malay populations such as Riau, the Riau Islands, West Kalimantan and a few other provinces. Recently, the Baju Melayu has become more popular and is not only worn at traditional events, but also in formal occasions. Government officers wear them proudly during official events (even national events). It is also worn as a uniform in Silat.
The female version of the baju melayu is called the baju kurung.
Posted on 09:39 by ariwinata and filed under | 0 Comments »

Mongols


Mongols
Mongolia, Russia, and China, particularly Inner Mongolia. They currently number about 8.5 million and speak the Mongol language. They form one of the 56 nationalities officially recognized by the People's Republic of China. There are approximately 2.3 million Mongols in Mongolia, 4 million Mongols living in Inner Mongolia, and 2 million Mongols living in neigboring provinces. In addition, there are a number of ethnic groups in North China related to the Mongols: the Daur, Buryat, Evenk, Dorbod, and Tuvin.

History
Though few in number (approximately 200,000 people at the height of their empire), Mongols were important in world history. Under the leadership of Genghis Khan, the Mongols created the largest land empire in world history, ruling 13.8 million mile² (36 million km²) and more than 100 million people. At their height, their empire spanned from Korea to Hungary, and included most of the lands in between, such as Afghanistan, Georgia, Armenia, Russia, Persia, and much of the Middle East.

The Mongols were a nomadic people who in the 13th century found themselves encompassed by large, city-dwelling agrarian civilizations. However, none of these civilizations were part of a strong central state. Asia, Russia, and the Middle East were either declining kingdoms, or divided city states. Taking the strategic initiative, the Mongols exploited this power vacuum and linked all of these areas into a mutually supporting trade network.

The Mongols were largely dependent on trade with the city-dwelling peoples, and raiding these villages when times were particularly hard. As nomads, they could not accumulate a surplus against bad times, or support artisans. When trade was reduced by the northern Chinese kingdoms in the 1200's, shortly after Genghis Khan rose to supremacy over the Mongol tribes, the Mongols repeated their tradition of getting their goods by looting Northern China.

Conquest, in the Khan's initial viewpoint, did not consist of subordination of competing cultures to the nomadic way of life, but rather in their looting and destruction. As a nomad, Genghis Khan is supposed to not have understood (or cared) of the supposed benefits in the city dwellers' way of life. This contrasts with their dependence on trade with the cities. However, the economic theories of these relationships still lay seven centuries in the future.

The Khan's initial plan of conquest was sacking all that was valuable, and then razing the city and killing the entire population, leaving only artists and human shields (for future campaigns) to survive. Different theories exist for why the Mongols were initially so extreme. Militarily, the Mongols were often far from home territory and greatly out-numbered, and wouldn't want to leave enemies in their rear. Psychologically, the Mongols were a nomadic people, and saw no use for a civilian population. Economically, destroying population centers gave the Mongols more room to graze their herds.

One such example is the capture of Beijing in 1215. Rather than adding the city to the Mongol Kingdom, he instead thorougly sacked the city for silk and other valuables.

As the Mongols grew more powerful, advisers convinced Genghis Khan to start building a vassal empire. If the city-dwelling peoples were allowed to continue their way of life, they could produce a surplus of food and goods, a portion of which could be paid to the Khan as taxes. Given the Khan's extraordinary success in his aggressive foreign policy, this wealth could be equally extraordinary. The Khan agreed, taking his tribute in tax, and saving countless lives and cultures in the process. Until 1225 they continued these invasions through Western Asia, into Persia and Russia.

In 1227, Genghis Khan died, leaving the Empire to his son Ogedei Khan. Ogedei Khan continued the expansion into Western Asia, also conquering Korea and Northern China. The armies of the Mongols had reached Poland and Egypt by 1241, and looked poised to continue, when Ogedei Khan died, leaving no clear successor. Mongol military leaders (who as descendants of Genghis Khan were possible heirs to the throne) rushed back to claim the throne. Nearly a decade later, Mongka Khan, grandson of Genghis and nephew of Ogodai, took the throne, through the assistance of his mother Sorghaghtani Beki. By this time, the Western expansion had lost its momentum.

Various members of the Mongol Court, including Sorghaghtani Beki, were Nestorian Christians. While the court was nominally Buddhist and maintained a policy of being open to all religions, it was known as particularly sympathetic to Christians (which may have helped contribute to the legend of Prester John). In 1253 the court followed the suggestion from Crusader Kingdoms in Syria to attack the Muslim capitols of Baghdad and Cairo. Baghdad was conquered and sacked in 1258, with the city's Christians spared, and the Abbasid caliph killed. However, with the troops on the road to Cairo, Mongka Khan died in 1259. Much of the force returned home for the selection of the new leader, and Egyptian troops repelled the attack in 1260. This marked the farthest West the Mongol Empire would progress.
Kublai Khan quickly succeeded Mongka Khan, moved the court to Beijing, formed the Yuan dynasty, and re-started the invasion of China, in the first war with guns on both sides. After 18 years, Kublai Khan conquered both Northern and Southern China, forming the largest empire in history (as famously described by Marco Polo).

However, by the early 14th century, the prominence of trade, and a possible cooling of the world's climates, led to worldwide outbreaks of plague, which encouraged revolt and invasion. Mongols quit China around 1360, and the Turks (among others) carved out their gains throughout the 14th century. The Chinese invaded Mongolia, and by the 17th century, the Qing dynasty fully incorporated Mongolia into its empire, forming the states of Outer Mongolia and a more Sinocized Inner Mongolia.

Military Innovation

The western expansion was a success for the empire until 1241 (see Wahlstatt). As they encountered the peoples of Europe, the Mongols with their advanced way of warfare were unstoppable. The Mongols used, and introduced, several revolutionary military ideas to European combatants.

•Use of articulation. Mongols used a system of horns and flags, blown or raised-and-lowered by the field commander. This allowed them to move their troops to preplanned positions on the field of battle, or modes of attack or retreat (such as charge, withdraw, or flank). In addition, they utilized subcommanders that were empowered to make decisions on the spot.

•Mongols based their forces almost entirely on light cavalry. Light cavalry consisted primarily of archers and light swordsman mounted on horseback. Mobile and numerous, light cavalry could choose its battles and retreat from forces it could not handle, such as heavy cavalry. Heavy cavalry lacked archers (who could kill at range) and was designed mainly to provide shock -- using weight, speed, and fear of their massed movement to break enemy heavy infantry lines.
Thus, when light cavalry met heavy cavalry, the lighter, more numerous, faster moving, bow using, well-articulated light cavalry usually defeated mounted knights -- the cream of European military power.

•Their conception of armor was markedly different. European knights used heavy plate armour (sheets of loops of chain and pieces of metal plate to protect the wearer, restricting vision and movement). Mongols used silk clothes. The cloth allowed Mongol warriors greater range of movement, better vision and endurance but still provided resistance to projectile weapons. It thus gave them a qualitative advantage over their opponents.

If a Mongol soldier was struck with an arrow, it penetrated the skin and sank into the flesh. However, the silk was not cut but pushed into the wound. Mongol doctors could easily pull an arrow from the wound, because it was wrapped in silk cloth. This reduced the chance of infection and made cleaning and dressing the wound easier, returning the skilled warrior to combat more quickly.

This simple procedure saved many lives. In a prolonged conflict, the Mongols retained more battlefield veterans than their opponents. This usually resulted in a situation where an army of veteran Mongols faced a conscript peasant army, with disastrous results for the Mongols' opponents.

•Mongols utilized doctrines never before seen. As nomads, Mongols carried all of their wealth and provisions with them on horseback. It was equivalent to placing an entire city on horseback. It was more mobile than many of their opponents' armed forces, who were tied to the towns for supplies.

Since their way of warfare was superior (articulated veteran light cavalry) they could not be bested in combat. The traditional solution to this problem is to attack the opponents' supply tail (food, fields, water, etc.). However, their city-dwelling opponents were tied to a supply tail, not the Mongols.

These strategies and tactics assured them victory against foes throughout their history. The closest modern analogue is the modern aircraft carrier, with its ability to bring an entire city of warriors next door to an opponent on short notice, strike, and retreat, without pursuit.
•Mongols' effective use of terror is often credited for the unprecedented speed with which Mongol armies spread across western Asia and eastern Europe.

First, the Mongols would provide an opportunity to surrender, usually on terms favourable to the Mongols. These offers were typically dictated to the first major population center in a new territory.

If the offer was refused, the Mongols would sack the city, execute the entire population (save a handful of skilled workers), and burn the city and the surrounding fields to the ground. They would often construct an edifice of cleaned skulls outside the walls of the destroyed city to serve as a reminder of their passage.

Finally, they would allow a few survivors to flee, to spread terror throughout the countryside. By first offering favourable (or at least acceptable) terms for surrender, and then invariably completely destroying any resistance, it is argued that Mongols forestalled most combat with invaded peoples. The Mongols quickly developed a reputation of being unstoppable, genocidal opponents. After the initial victories, and proof of the Mongols good intentions, it became more difficult for rulers to convince their people to resist an invasion.

Timeline of Conquest

The Mongols attempted two unsuccessful invasions of Japan. The first invasion fleet was utterly destroyed by a typhoon (kamikaze) in 1281. The Mongolian fleets survived the typhoon the second time but the landed troops, who starved because their provisions had been lost in the typhoon, were annihilated by Japanese infantry and samurai.

Other Mongol defeats include their invasion of Java, and south East Asia (Modern day Vietnam). The tropical climate proved unsuitable to cavalry, and while Vietnam was made a vassal state, Java remained autonomous much to the fury of Kublai.

•1200, Northern China - Unknown number killed
•1215, Yanjing China (today Beijing) - Unknown number killed
•1221, Nishapur, Persia - ~1.7 million killed in assault
•1221, Merv, Persia - ~1.3 million killed in assault
•1221, Meru Chahjan, Persia - ~1.3 million killed in assault
•1221, Rayy, Persia - ~1.6 million killed in assault
•1226, Tangut Campaign - Gengis Khan launches war against the northern China people of Tangut.
•1236, Bilär,Bulgar cities, Volga Bulgaria - 150,000 or more and more (nearly half of population)
•1237-1240, Kievan Rus' - half of population
•1241, Wahlstatt -- defeat of a combined Polish-German force in lower Silesia (Poland); the Mongols turn back to attend to the election of a new Grand Khan.
•1258, Baghdad - ~800,000 people. Results in destruction of Abbasid dynasty
•1226-1266, ~18 million reported killed in conquest of northern Chinese territory. This number estimated by Kublai Khan himself.

Modern History
In 1921, Outer Mongolia revolted with Russian support, forming modern Mongolia. A Communist government was formed in 1924. The USSR defended Mongolia from Japanese invasion. However, the Mongolian People's Revolutionary Party, for reasons both practical and philosophical, enacted an often brutal if not entirely effective sweeping of Mongolian tradition, working against the Buddhist religions, clan-ism, and script, and for collectivism (as opposed to the traditional nomadic lifestyle). Mongolia aligned itself with Russia after the Sino-Soviet split of 1958. In 1990 the Communist government was overthrown, and by 1992 Mongolia established a parliamentary government.

Inner Mongolia forms an autonomous state within China. Han Chinese have been massively re-settled there, and are the dominant ethnic group, and China places many of the same cultural restrictions on Mongols as did Soviet Mongolia. However, Mongols are exempt from the government's one-child policy, and the PRC officially promotes the Mongol language.
Posted on 23:05 by ariwinata and filed under | 0 Comments »